Temenmu Sudah Nikah Kamu Kapan

 

        Sumber gambar:ig lelly,fanny dan bu fatih

(Disclaimer)

Tulisan ini merupakan wujud keserasahan penulis dikarenakan banyaknya temen-temen sekelasnya yang sudah menempuh hidup baru alias nikah.

Sejak memutuskan untuk lanjut kuliah saya paham bentul resiko-resikonya,mulai dari masalah biaya,terlambat nikah dan tak lupa masalah sampo.Pertama soal biaya,melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tentu memerlukan effort finansial yang lebih,apalagi jika jenjang tersebut adalah perguruan tinggi namun saya agak lucky karena lolos di perguruan tinggi negri yang notabebe lebih murah dari segi biaya,maybe jika tidak demikian saya pasti tidak bisa lanjut study sebab cost is a very important aspect.

Kedua,perihal keterlambatan hidup,kenapa saya bilang keterlambatan?bukankah itu ngak releven jika di aplikasikan ke ranah administratif lainnya?,ya hal demikian benar adanya,akantetapi keterlambatan-keterlambatan itu merupakan “hipotesis lokalitas” maksudnya ialah,berhubung penulis lahir dan tumbuh di masyarakat desa yang umumnya jenjang pendidikan seseorang hanya sampai sebatas SMA maka melanjutkan kulaih merupakan hal yang asing,ngak common dan prestise.Alhasil hal tersebut menyebabkan seseorang terlambat dalam step-step kehidupannya salah satunya menikah,umumnya ditempat saya anak-anak muda selepas SMA pasti bekerja sementara yang melanjutkan kuliah dapat di hitung jari dan sialnya saya masuk kategori yang melanjutkan kuliah.Bagi mereka yang sudah bekerja tentu akan berusaha sekuat tenaga agar bisa hidup mapan berkecukupan, ini start awal,nah ketika mereka tengah giat-giatnya memperbaiki kondisi ekonomi,saya eh tidak kami masih membaul kosong berhadapan dengan tugas-tugas yang tidak membangkitkan semangat,buku-buku yang bikin mata minus maupun nongkrong-nongkrong ngak jelas yang di bingkai dengan image diskusi.Di samping itu,kebanyakan dari mereka memutuskan untuk menyegerakan nikah dan hal inilah yang paling meresahkan.Bagaimana tidak ketika mereka sedang mempersiapkan momentum sakral(baca:nikah) kami yang katanya agent of change masih berkutat pada jurnal,google scholar dan makalah-makalah yang bikin otak menguap.

        Mereka yang menikah ini pastilah memiliki kematangan psikologis yang lebih daripada kami,mereka berani berhadapan alias meng-khitbah anak orang,saya sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka ketika berbicara empat mata dengan calon mertua.Belum lagi masalah biaya,mereka pastilah memiliki managemet yang baik sehingga berani untuk menanggung hidup anak orang sementara kami para mahasiswa ini,makan saja ngak teratur apalagi yang anak kost,indomie adalah sahabat sejati dan daging adalah keindahan syurga.

        Terahir,mereka yang menikah akan merasakan nikmat yang luarbiasa yang kami sendiri tidak bisa membayangkan.Pertama nikmat seks,ya tentu hal semacam itu lumrah,bagi mereka yang sudah menikah akan mengalami keindahan-keindahan disamping menemukan fakta-fakta unik seputar bagian internal pasangan sementara kami masih berkawan dengan sabun dan vidio bokep yang kadang menggugah imajinasi berlebih.Kedua,mereka yang sudah menikah akan mengalami moment-moment romantis yang sulit di jelaskan,dari mulai kecupan di pagi hari,pelukan di dapur atau sambutan hangat sepulang kerja sementara kami,yah tau sendiri boro-boro kecupan yang ada hanyalah revisian.Ketiga,mereka yang menikah akan merasakan makna cinta yang sebenarnya dan untuk hal ini saya rasa sangat sulit untuk di jelaskan sebab hanya pecinta dengan yang di cintailah yang mengerti akan hal tersebut.Begitulah sedikit opini tentang banyaknya temen yang menikah,mungkin dalam tulisan saya ini terkesan lebih berpihak pada mereka yang menikah dan mendistorsi mahasiswa,ya benar tapi why? Ya karena saya jomblo saya paham betul bagaimana suka duka seorang jomblo dari mulai kesepian,chat yang sepi(ramai sih tapi komunitas-komunitas gitu) dan berbagai masalah pelik lainnya.

Comments

Popular posts from this blog

Perjalanan

The History and Contribution of Philosophy in Islamic Thought